Showing posts with label Islam. Show all posts
Showing posts with label Islam. Show all posts

Mengapa Doa Belum Terkabul?

Doa Belum Terkabul

     Mengapa doa terkadang tidak atau belum terkabulkan? apakah ada yang salah dari cara kita, sehinngga Doa yang kita Panjatkan kepada Allah Swt tidak atau belum terkabul, mari kita simak beberapa poin berikut. dari Khutba Jum'at buletin Dakwah al-munir.

Pertama, bisa jadi karena kita menyepelekan kekhusyukan dan perendahan diri di hadapan Allah Swt ketika berdoa. Allah Swt berfirman, “Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut” (QS. Al-A’raf:55). Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) segala kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.(QS. Al-Anbiya’:90).

    Seseorang yang berdoa seharusnya bersikap khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah Swt tawadhu’ dan menghadirkan hatinya.

  Semua ini merupakan adab-adab dalam berdoa. Seseorang yang berdoa juga selayaknya memendam keinginan mendalam agar permohonannya dikabulkan, dan dia hendaknya tak henti-henti meminta kepada Allah Swt. Seyogyanya, dia selalu ingin menyempurnakan doanya dan memperbagus kalimat doanya, agar doa tersebut terangkat menuju Al-Bari (Dzat yang Maha Mengadakan segala sesuatu), dan itu dilakukannya hingga Allah Swt mengabulkan doa itu.

  Rasulullah Saw bersabda, “Jika kalian berdoa kepada Allah maka berdoalah kepada-Nya dengan penuh keyakinan bahwa doa tersebut akan dikabulkan. Sesungguhnya, Allah tidaklah mengabulkan doa seorang hamba, yang dipanjatkan dari hati yang lalai.” (HR. Ahmad. Dinilai hasan (baik) oleh Al-Mundziri).

Kedua, bisa jadi kita berdoa untuk sebuah hal yang buruk berupa dosa atau kemaksiatan, seperti berdoa agar bisa melakukan dosa, agar bencana ditimpakan, atau supaya hubungan kekerabatan terputus. Rasulullah Saw bersabda, “Di muka bumi ini, tidak ada seorang muslim pun yang memanjatkan doa kepada Allah melainkan Allah pasti akan memberi hal yang dipintanya atau Allah akan memalingkannya dari keburukan yang senilai dengan isi doanya, sepanjang dia tidak memohon doa yang mengandung dosa atau pemutusan hubungan kekerabatan (HR. Tirmidzi dan Ahmad. Dinilai Hasan-Shahih (baik-kuat) oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah)

  Kata Syaikh Al-Mubarakfuri, Yang dimaksud tidak berdoa untuk sesuatu yang berdosa, artinya berdoa untuk kemaksiatan seperti, Ya Allah, takdirkan aku untuk bisa membunuh si fulan, sementara si fulan itu tidak berhak dibunuh atau ,Ya Allah, berilah aku rizki untuk bisa minum khamr. Atau berdoa untuk memutus silaturahim. Suatu contoh, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari bapak dan ibuku serta saudara-saudaraku”. Doa tersebut merupakan bentuk pengkhususan terhadap yang umum.

Ketiga, bisa jadi karena kita putus asa, merasa doanya tidak akan terkabul dan tergesa-gesa ingin doanya segera terwujud. Sikap-sikap semacam ini merupakan penghalang terkabulnya doa. Rasulullah r  bersabda, “Doa yang dipanjatkan seseorang di antara kalian akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa. Dirinya berkata, ‘Aku telah berdoa namun tidak juga terkabul’ ” (HR. Bukhari dan Muslim).

   Hal ini adalah biasa, karena umumnya manusia tidak sabar dengan keinginannya. Semua berharap, sebisa mungkin, keinginannya bisa terwujud secara instan. Atau minimal, tidak menunggu waktu yang lama. Prinsip semacam ini memberikan dampak buruk ketika kita berdoa kemudian tidak kunjung dikabulkan.

  Syaikh Al-Mubarafuri menjelaskan bahwa Imam Al-Madzhari rahimahllah berkata, “Barangsiapa yang bosan dalam berdoa, maka doanya tidak terkabulkan, sebab doa adalah ibadah, baik dikabulkan atau tidak, seharusnya seseorang tidak boleh bosan beribadah. Tertundanya permohonan boleh jadi belum waktunya doa itu dikabulkan karena segala sesuatu telah ditetapkan waktu terjadinya. Sehingga, segala sesuatu yang belum waktunya, tidak akan mungkin terjadi.

Keempat, bisa jadi karena kita memasukkan sesuatu yang haram ke dalam perut atau memakai pakaian yang haram. Rasulullah Saw   menyebutkan, “Seorang lelaki yang lusuh lagi kumal karena lama bepergian mengangkat tangan ke langit tinggi-tinggi dan berdoa, ‘Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimanakah doanya bisa terkabulkan ?” (HR. Muslim).

Kelima, bisa jadi karena kita tidak memanfaatkan doa di saat-saat utama untuk berdoa. Allah I menciptakan waktu dengan kemuliaan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya Allah I bersumpah atas keberadaan jenis waktu yang berbeda. Ada sumpah demi masa, demi waktu dhuha, demi malam, demi siang, dan lainnya. Selayaknya, kita berupaya untuk memanfaat waktu-waktu tersebut untuk memanjatkan doa tulus kepadaNya, di antaranya : sepertiga malam terakhir, tatkala berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, pada saat perang berkecamuk, sesaat pada hari Jumat (sebagian hadits menyebutkan di akhir-akhir waktu Ashar), di antara adzan dan iqamah, pada waktu sujud dalam shalat, saat sedang turun hujan, pada malam lailatul qadar, pada hari Arafah, dan waktu-waktu lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih (kuat).

Demikian semoga bermanfaat untuk kita semua.

Apa Itu Istidraj?

Istidraj
Apa Itu Istidraj?
Istidraj secara bahasa diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj secara istilah bermakna bahwa pemberian dari Allah Swt kepada hamba yang dipahami sebagai “hukuman” yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung, dimana Allah Swt membiarkan orang tersebut terus dalam “hukuman” dan tidak disegerakan adzabnya.

Allah Swt berfirman, “Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qalam: 44) (Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, kata: da-ra-ja).

Dari definisi di atas, jelaslah bahwa orang yang terus dalam kemaksiatannya, namun dibalas oleh Allah Swt dengan nikmat  sehingga ia lupa untuk bertaubat dan memohon ampun kepadaNya, adalah sebuah penangguhan dari Allah Swt agar ia semakin jauh dari Allah Swt sedikit demi sedikit, menambah dosanya sedikit demi sedikit, hingga akhirnya ketika Allah I akan mengadzabnya, maka Allah Swt  mengadzabnya sesuai kadar dosanya yang semakin banyak dan menumpuk. Wal ‘iyadzu billah.

Allah Swt berfirman, “Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.(QS. Al-Qalam: 44).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 260).

Jadi, ketika ada orang yang tidak shalat, tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa udzur, hidup dalam kubangan maksiat, namun hidupnya tetap makmur, sejahtera dan bergelimang banyak kemewahan, sungguh ini adalah istidraj. Ketika seseorang meraih pangkat dan jabatan atau kemenangan dengan cara-cara yang zhalim dan menghalalkan segala cara, kemudian ia tetap terus maju dan sukses dengan kedudukannya, sungguh ini adalah istidraj.

Lantas, mengapa Allah Swt berbuat demikian? Mengapa Allah Swt tidak memberi hidayah saja dan menyadarkan mereka? Hal itu karena hidayah tidak akan diberikan kepada mereka yang menutup hatinya dan tidak bersedia menerima petunjuk Allah Swt, bahkan mereka menjadikan kebaikan yang diajarkan Allah Swt sebagai bahan untuk mengolok-olok. Hidayah bisa saja datang kepada orang yang zhalim dan gemar berbuat dosa jika kemudian orang tersebut membuka hatinya untuk menerima petunjuk-petunjuk Allah Swt yang terdapat dalam ajaran agama.

Semoga bermanfaat.

Sumber Buletin Dakwah Al-munir

Tata Cara Shalat sunnah Rawatib

Shalat sunnah Rawatib
Tata Cara Shalat sunnah Rawatib. Hiruk pikuk dunia sering kali sering kali melalaikan kita dari perkara-perkara utama, kesibukan dan tuntutan hidup yang tinggi kerap mejadi alasan untuk meninggalkan perkara-perkara mulia.
Tak pelak , sebahagian kita akhirnya meninggalkan ibadah-ibadah tambahan yang wajib,
sementara ibadah wajib kita sendiri juga sering kali cacat dan kurang adabnya.

   Apa lagi, sebahagian kita beralasan bahwa ibadah-ibadah tambahan itu sendiri toh adalah sunnah (bukan wajib) sehingga jika ditinggalkan, misalnya karena kesibukan , juga tidak berdosa.

  Ya, disatu sisi alasan bisa dibenarkan juga. Namun disisi lain, sengaja meninggalkannya (apalagi meremehkannya) secara berulang-ulang atau terus menerus , tentu saja hal ini adalah kerugian yang nyata.
   Diantara contoh ibadah tambahan yang banyak dilalaikan adalah shalat sunnah rawatib , yaitu shalat sunnah yang mengiringi shalat-shalat wajib kita. Shalat yang demikian penting bagi panutan kita , Muhammad Saw , sampai-sampai beliau Saw , senantiasa mengajarkanya dan tidak pernah meninggalkannya dalam keadaan mukim , tidak bepergian atau (safar). Oleh karena itu , kami memandang perlu untuk mengingatkan beberapa hal dan hukum-hukum terkait shalat sunnah rawatib.

Keutamaan Shalat Rawatib

Rasulullah r bersabda, “Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga“ (HR. Muslim).

Bahkan khusus untuk 2 raka’at sebelum Subuh dan 4 raka’at sebelum Shuhur yang masuk dalam 12 raka’at tersebut, Rasulullah r menjelaskan keutamaannya secara khusus. Untuk 2 raka’at sebelum Subuh, Rasulullah r bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim). Dan untuk 2 raka’at sebelum Subuh ini, Rasulullah r tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpergian) maupun dalam keadaan bepergian (safar).

Sedangkan untuk 4 raka’at sebelum Zhuhur, Rasulullah r bersabda, “Barangsiapa yang menjaga (shalat) 4 rakaat sebelum Zhuhur dan 4 rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka“. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Keutamaan lainnya, Tsauban t, bekas budak Rasulullah r, pernah bertanya kepada Rasulullah r  mengenai amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai oleh Allah I. Rasulullah r menjawab, “Hendaklah engkau memperbanyak sujud kepada Allah karena  tidaklah engkau bersujud pada Allah dengan sekali sujud melainkan Allah akan meninggikan satu derajatmu dan menghapuskan satu kesalahanmu” (HR. Muslim).

Subhanallah, ini baru sekali sujud. Lantas, bagaimanakah dengan banyak sujud atau banyak shalat yang dilakukan?

Rasulullah r juga bersabda, “Sesungguhnya amalan yang pertama kali akan diperhitungkan dari manusia pada hari kiamat dari amalan-amalan mereka adalah shalat. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan pada malaikatnya dan Dia lebih Mengetahui segala sesuatu, “Lihatlah kalian pada shalat hamba-Ku, apakah sempurna ataukah memiliki kekurangan? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika shalatnya terdapat beberapa kekurangan, maka lihatlah kalian apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jika ia memiliki shalat sunnah, maka sempurnakanlah pahala bagi hamba-Ku dikarenakan shalat sunnah yang ia lakukan. Kemudian amalan-amalan lainnya hampir sama seperti itu.” (HR. Abu Dawud).

Duhai, betapa beruntungnya mereka yang banyak melaksanakan shalat sunnah, termasuk rawatib. Dan, betapa ruginya mereka yang meremehkannya. Wallahul-musta’an.

Pembagian dan Jumlah Shalat Rawatib

Dalam Kitab Shahih Fiqh Sunnah 1/381, Syaikh Abu Malik rahimahullah menyebutkan bahwa Shalat Sunnah Rawatib, terdiri dari Rawatib yang Muakkad (ditekankan untuk dikerjakan) dan Rawatib yang Ghairu Muakkad (tidak begitu ditekankan untuk dikerjakan).

Pertama, terkait jumlah Rawatib Muakkad, Rasulullah r menjelaskannya dalam beberapa haditsnya.

Rasulullah r bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan 12 rakaat pada shalat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): 4 rakaat sebelum Zhuhur, 2 rakaat sesudahnya, 2 rakaat sesudah Maghrib, 2 rakaat sesudah ‘Isya, dan 2 rakaat sebelum Subuh“ (HR. Tirmidzi dan An-Nasa’i).

Riwayat yang lain, menyebutkan Rawatib Muakkad berjumlah 10 raka’at. Sebagaimana hadits dari  Ibnu ‘Umar t, beliau t mengatakan, “Aku menghafal dari Nabi r 10 raka’at (Sunnah Rawatib), yaitu : 2 raka’at sebelum Zhuhur, 2 raka’at sesudah Zhuhur, dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum Shubuh” (HR. Bukhari).

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan sebelum Maghrib dan sebelum/setelah Ashar, dalam hal ini Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada Sunnah Rawatib (Muakkad) sebelum dan sesudah shalat Ashar, namun disunnahkan shalat mutlak sebelum shalat Ashar” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343).

Begitu pula dengan sebelum (qabliyah) shalat Jumat, Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata, “Tidak ada Sunnah Rawatib (Muakkad) sebelum shalat Jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan shalat beberapa raka’at semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386,387).

Adapun setelah (ba’diyah) shalat Jumat, Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah shalat Jum’at, maka terdapat Sunnah Rawatib sekurang-kurangnya 2 raka’at dan maksimal 4 rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387). Hal ini berdasarkan hadits, Rasulullah r bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan shalat jum’at, maka shalatlah sesudahnya empat rakaat“ (HR. Muslim).

Kedua, terkait Rawatib yang Ghairu Muakkad, berdasarkan hadits-hadits yang ada, terdiri dari : 2 raka’at setelah Zhuhur (yang dikerjakan setelah mengerjakan 2 atau 4 raka’at sebelum dan 2 raka’at setelah Zhuhur), 4 raka’at sebelum Ashar, 2 raka’at sebelum Maghrib dan 2 raka’at sebelum Isya).

Sehingga, berdasarkan seluruh riwayat hadits di atas, jumlah raka’at Rawatib, baik yang Muakkad maupun yang Ghairu Muakkad, dapat disimpulkan pada Tabel di bawah.

Tabel Shalat Sunnah Rawatib

Shalat
 Muakkad
Ghairu Muakkad
Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sesudah
Shubuh
  2 Raka'at
-
-
-
Zhuhur
2 atau 4 Raka'at
2 Raka'at
-
2 Raka'at
Ashar
-
-
4 Raka't

Magrib
-
2 Raka't
2 Raka'at

Isya
-
2 Raka't
2 Raka'at



Surat yang Dibaca pada Shalat Rawatib

 Terkait hal ini, secara umum, boleh bagi kita untuk membaca surah apa saja dari Al-Qur’an setelah membaca surah Al-Fatihah dalam shalat.
Namun secara khusus, Nabi pernah mencontohkan beberapa surah khusus yang biasa dibaca oleh beliau dalam shalat rawatib. Seperti, pada shalat sunnah 2 raka’at sebelum (qabliyah) Subuh.

Abu Hurairah t meriwayatkan,
“Bahwasanya Rasulullah pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al-Kaafirun dan surat Al-Ikhlas” (HR. Muslim).

Begitupula, Sa’id bin Yasar meriwayatkan, bahwasannya Ibnu Abbas  mengabarkan kepadanya,

“Sesungguhnya Rasulullah pada shalat sunnah sebelum subuh di raka’at pertama “qaaluu aamanna billaahi wa maa unzila…” (Surah Al-Baqarah ayat 136), dan di raka’at kedua membaca “falammaa ahassa ‘isaa minhumul kufra…” (Surah Ali Imran ayat 52)” (HR. Muslim).

Juga, pada shalat rawatib 2 raka’at setelah (ba’diyah) Maghrib, Ibnu Mas’ud t berkata, “Saya sering mendengar Rasulullah r ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah maghrib : Al-Kaafirun dan surat Al-Ikhlas” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Jadi, dapat dipahami bahwa 10 atau 12 raka’at yang disebutkan secara khusus dalam keutamaan

“dibangunkan baginya rumah di surga” adalah Rawatib yang Muakkad.

 Rawatib Dalam Keadaan Safar 

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,
 “Rasulullah di dalam safar senantiasa mengerjakan Shalat Sunnah Rawatib sebelum Shubuh dan Shalat Sunnah Witir dikarenakan dua shalat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara shalat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah mengerjakan shalat sunnah selain keduanya” (Zaadul Ma’ad 1/315).

Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata,
“Disyariatkan ketika safar meninggalkan Shalat Rawatib kecuali Shalat Witir dan Rawatib sebelum Subuh” (Majmu’ Fatawa 11/390).

 Rawatib,Lebih Baik di Rumah 

 Di antara petunjuk Nabi adalah menjalankan setiap shalat sunnah di rumah, kecuali jika memang ada hajat atau faktor lain yang mendorong untuk melakukannya di masjid.

Nabi bersabda, “Sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalat seseorang di rumahnya selain shalat wajib” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di antara keutamaan lainnya mengerjakan shalat di rumah, apalagi ketika baru datang dari masjid atau akan pergi ke masjid terdapat dalam hadits Abu Hurairah,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang ada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.” (HR. Al-Bazzar. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 1323).

Waktu Mengerjakan Rawatib 

 Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
“Setiap Sunnah Rawatib Qabliyah (sebelum) maka waktunya dimulai dari masuknya waktu shalat fardhu (setelah adzan) hingga shalat fardhu dikerjakan, dan Shalat Rawatib Ba’diyah (setelah) maka waktunya dimulai dari selesainya shalat fardhu hingga berakhirnya waktu shalat fardhu tersebut” (Al-Mughni 2/544).
  Jadi, bukan termasuk Rawatib, ketika mengerjakannya sebelum adzan yang menandai masuknya waktu shalat untuk Rawatib Qabliyah atau telah berakhirnya waktu shalat fardhu untuk Rawatib Ba’diyah.

 Menggabungkan Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’ 

    Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Apabila seseorang masuk masjid di waktu shalat Rawatib, maka ia bisa mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat shalat Rawatib dan Tahiyatul Masjid (sekaligus), dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga Shalat Sunnah Wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (Shalat Rawatib dan Tahiyatul Masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75).

Semoga bermanfaat.

Sumber Buletin Dakwah Al-munir

Kategori

Kategori